Sunday, November 3, 2013
INOVASI PENDIDIKAN.
12:30 AM
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah satu-satunya makluk yang mengembangkan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini tcrbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu nama buah jambu yang enak. Seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal ini, berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna kepada kehidupannya, manusia "memanusiakan" diri dalam hidupnya, dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini, semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk. yang bersifat khas di muka bumf ini.
Pengetahuan ini dapat dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan fikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorilla datang menyerang, namun bagaimapapun berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan pikiran yang analitis mengenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjingpun, kata Bertrand Russel, yang berkata kepada temannya : "Ayahku miskin namun jujur”. Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yang terkenal. Dan tak seekor anjingpun, sambung Adam Smith, yang secara sadar tukar menukar tulang dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip ekonomi, yakni proses pertukaran yang dilakukan Homo economicus, yang mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kcdua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan matap, adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir seperti ini disebut penalaran. binatang mampu berfikir namun tidak mampu berfikir nalar. Beda utama antara seorang professor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di play-groupnya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang jauh Iebih peka dari instink seorang insinyur geologi. mereka sudah jauh jauh berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang tak bisa menalar tentang tersebut, mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa vang bersifat komunikatif dan fikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran; sebab berfikirpun tidak semuanya berdasarkan penalarannya. Manusia bukan semata-mata makhluk yang berfikir, sekedar homo sapiens yang steril. Manusia adalah makhIuk yang berfikir, merasa dan mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, disamping wahyu, yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makhlukNya.
B. Batasan Masalah
Pembahasan Filsafat meliputi tentang : filsafat Ilmu, Filsafat Administrasi, Filsafat Agama, Filsafat Perspektif Budaya, Filsafat Ekonomi Sosial, Filsafat Politik dan lain-lain , akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas ilmu dalam perspektif politik.
C. Rumusan Masalah
Dari makalah dapat dirumuskan antara lain :
Pengertian ilmu
Sikap politik formal ilmuwan
Ilmu dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara
Perkembangan ilmu politik
Ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan
Hubungan ilmu politik dengan filsafat
...........................................hilang 1 hlm.......................................?
ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehihupan dalam batas-batas ontologisme tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemology keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empires dalam proses pcnemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secar ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi adalah penfsiran tentang hakekat realita dari obyek ontologis keilmuan sebagaimana disebutkan di atas. penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan pada karakteristik obyek ontologi sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic. Galileo (1564-1642) menilik dogma agama bahwa "matahari berputar mengelilingi bumi", sebab pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan factual sebagaimana ditemukan oleh Copernicus(1473-1543).Pengadilan terhadap Galileo oleh penguasa agama pada musim dingin tahun 1633 merupakan tonggak historis dari etiked keilmuan untuk membebaskan ilmu dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic dari manapun datangnya. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu menolak nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan, namun sifat dogmatic itulah yang secara asasi ditentang. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian beidasarkan epistemologi keilmuan. Nilai budaya gotong-royong umpamanya secara hipotesis bisa berlaku sebagai asumsi tentang manusia dalam kegiatan manajemen bagi sub kultur terientu di Indonesia. Untuk mensahihkan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertarna adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatan Einstein: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori yang disusun diantara keduanya”.
Metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das Sein)
menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan-meramalkan-mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke zaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inkuisi ala Galileo pada jaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen.
Ada delapan belas asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan antara lain :
1. Bertujuan menemukan kebenaran
2. Ynag dilakukan dengan penuh kejujuran
3. Tanpa kepentingan langsung tertentu
4. Berdasarkan kekuatan argumentasi
5. Mempercayai cara berfikir rasional
6. Mempercayai verifikasi argumentasi secara obyektif berdasarkan kenyataan faktual
7. Mempercayai sifat kritis dalam menarik kesimpulan
8. Bersifat terbuka terhadap kritik dan kebenaran yang lain
9. Bersifat fragmatis pemilihan obyek penelaahan secara etis
10. Tidak merubah kodrat manusia
11. Tidak merendahkan martabat manusia
12. Tidak mencampuri permasalahan tentang kehidupan
13. Netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatis dalam menafsirkan hakekat realitas
14. Kodrat manusia
15. Martabat manusia
16. Keseimbanagn / kelestarian alam lewat penggunaan /anfaatan peningkatan ilmiah
17. Komunal
18. Universal
Dari delapan belas asas moral terkandung dalam' kegiatan keilmuan, maka tujuh belas diantaranya bersifat des sollen. Dari tujuh belas asas moral tersebut, terdapat tiga asas yang yang terkait dengan aspek pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara. etis. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalain menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, mereddahkan martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan demikian maka ilmu menentang percobaan mengenai genetika (genetic enginering ) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk mengontrol kelakuan manusia ( behavioral / social enginering ) sebab merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk nembentuk species barn sebab mencampuri masalah kehidupan.
C.Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan penggunaan azas moral dalam pcmilihan obyek penelaahan ilmiah, maka penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai azas moral tertentu pula. Pada dasamya ilmu harus digunakm dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hai ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam menigkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan koodrat manusia, martabat manusia dan kelestarian / keseimbangan alam. Salah satu alasan untuk tidak meiicampuni masalah kehidupan secara ontologis adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu mentirut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parochial seperti ras, idiologi atau agama.
D. Pendekatan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dqsamya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan :
Kerankka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut
Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pemyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasial dalam mengembangkan penjelasaan terhadap fenornina alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta menolak pernyataan hipotesis). Demikian jugs verifikasl faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat fragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan sistem umpan batik korektif yang ditunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton "skeptisisme terorganisasi". Artirya cara berfikir ilmiah dimulai dengan sifat skeptis terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini berbeda dengan modus yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agarna.
Dalam proses kegiatan keilmuan maka setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argurmentasi secara individual.
Ilrnu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan" ajar Mangunwijaya, oleh sebab itu maka ilmu di Indonesia sukar berkembang selama kita suka bohong. Ketidakjujuran dalam kegiatan keilmuan nampak dalain gejala kebudayaan nyontek, Ijazah Aspal ( Asli tapi palsu ) dan merajalelanya kebocoran ujian. Demikian juga seperti semboyan "seni untuk seni" maka ilmuwan bersemboyan "kebenaran untuk kebenaran" tanpa melibatkan dirinya dengan kepentingan langsung dari upaya ilmiah.
E. Sikap Politik Formal Ilmuwart
Karena ilmuwan mempunyai tanggung, jawab sosial yang formal, maka konsekuensinya ilmuwan harus mempunyai sikap politik formal, sebab sikap politik formal merupakan pengejawantahan tanggung jawab sosial dalam pengambilan keputusan politis. Keputusan politis adalah keputusan yang bersifat mengikat (authoritative), menyangkut seluruh masyarakat yang bersifat mengalokasikan kelebiban dan kekurangan (advantages and disadvantages). Dalam proses pengambilan keputusan politis ini maka ilmuwan dapat berperan antara lain sebagai Intelektual, birokrat atau teknokrat.
Sikap Einstein dan kawan-kawan yang tercermin dalam sepucuk surat tertanggal 2 Agustus 1939 kepada Presiden Roosevelt merupakan contoh dari sikap politik ilmuwan. Berdasarkan inforrnasi bahwa Nazi Jerman mungkin sedang mengembangkan bom atom maka Einstein, meskipun dengan berat hati, mengambil keputusan bahwa "merupakan kewajiban saya untuk memberitahukan kepada anda fakta-fakta, dan merekomendasikan pembuatan bom atom. Meskipun kemudian akses pengambilan keputusan politis ini rnenjadi beban berat bagi manusia, namun konsekuensi itu harus diiihat dalam lingkup hakekat pengambilan keputusan politis, yang selalu bersifat bermata dua seperti buah simalakama.
Sikap politik ilmuwan adalah konsisten dengan azas moral keilmuan. Terdapat asas moral yang bersifat unik yang mempengaruhi sikap politik formal. Asas moral ini adalah :
1. Kenenaran
2. Kejujuran
3. Tidak mempunyai kepentingan politik
4. Menyadarkan diri kepada kekuatan argumenatsi dalam menilai kebenaran atau dengan kata lain tidak mempunyai ikatan primordial secara moral, psikologis, sosial maupun politis dalam pengambilan keputusan.
Kempat asas moral ini bersifat menunjang suatu orientasi terhadap kepentingan nasional dari sikap politik formal ilmuan. Demiukian juga sikap politik yang demikratis sebagai pencerminan dari asas moral yang melandasi kegiatan keilmuan.
Dalam menafsikran kepentingan nasional, maka ilmuwan tidak akan selalu sependapat dengan tafsiran pengunsa, bahkan akan terdapat perbedaan penafsiran di kalangan ilmuwan itu sendiri. "Kewajiban moral ilmuwan" meminjam perkataan Infeld, mengikuti otoritas pertimbangan pribadinya”. Namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu keadaan yang disfungsional sebab fungsi ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan politis adalah memberikan alternatif-alternatif dan bukan sebagai kekuatan politik yang berfungsi memberikan keputusan. Jadi ilmuvan tidak selayaknya diperlakukan sebagai lawan politik oleh kekuatan politik yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan sikap politik ilmuan.
F. Ilmu Dalam Perspektif Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Terdapat tiga tesis utama yang hendak diajukan dalam kaitan ilmu dengan kehidupan berbangsa dan bemegara yaitu :
1. Ilmu merupakan alat untuk mewujudkan tujuan politis secara efektif dan alamiah yang menunjang tumbuhnya denokrasi.
2. Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan menunjang pembinaan karakter bangsa secara positif.
3. Sikap politik formal ilmuan yang berorientasi kepada kepentingan nasional menunajang terwujudnya persdatuan dan kesatuan bangsa.
Keputusan politis merupakan komitmen nasional dalam mewujudkan tujuan-tujuan moral ayng terkandung dalam cita-cita dan aspirasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ilmu merupakan alat yang efektif dan alamiah. Sifat alamiah disini harus diartikan bahwa dalam mewujudkan suatu tujuan ilmu mendasarkan diri kepada sifat menjelaskan, meramalkan, kontrol dari upaya keilmuan dan dengan demikian menjauhkan sebisa mungkin unsur paksaan. Sifat ini selaras dengan proses politik yang bersifat demokratis. Patut dikemukakan disini bahwa ilmu bukanlah satu-satunya alat yang secara efektif dapat mewujudkan suatu tujuan politis. Pendekatan-pendekatan moral yang dijabarkan secara normative dari suatu idiologi mungkin bisa lebih efektif dari ilmu dan merupakan jalan pintas dalam merealisasikan suatu tujuan politik. Namun sesuai dengan hakekatnva yang berorientasi kepada das Sollen, pendekatan moral dalam merealisasikan tujuan politis ccnderung untuk mempergunakan unsur paksaan, yang lebih jauh akan mendorong tumbuhnya proses politik yang bersifat otoriter.
Asas moral yang terkandung dalarn kegiatan keilmuan merupakan sumbangan positif terhadap pembentukan karakter bangsa. Sikap politik formal ilmuan menunjang tumbuhnya persatuan dan kesatuan bangsa, sebab di samping mempunyai keahlian dan jaringan komunikasi yang luas, ilmuwan terbebas dari kepentingan langsung tertentu dan ikatan primordial. Semua itu ditambah dengan motivasi dalam menemukan kebenaran secara jujur akan menyebabkan ilmuwan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan-kepentingan lainnya. Sikap politik yang konstruktif ini bisa berkembang bila diberikan suasana yang bersifat mendorong, terutama itikad politis (political will ) dari masyarakat dan pemerintah untuk menumbuhkan hal ini.
G. Perkembangan ilmu politik
Apabila ilmu politik berdampingan semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, focus, dan ruang lingkup yang sudah jelas, maka dapat dikatakan bahwa politik masih muda usianya,karena baru lahir pada akhir abad ke-19. pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosioligi, anthropologi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini mereka Baling mempengaruhi. Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih lugs, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagi-bagai aspek Negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya; malahan ia sering dinamakan "ilmu social yang tertua" di dunia. Pada taraf perkembangan itu ilmu politik banyak bersandar pada se.jarah dan filsafat.
Di Yunani kuno misalnya, pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 SM, seperti terbukti dalam karya-karya ahli sejarah seperti herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteies dan sebagainya. Di Asia ada beberapa pusat kcbudayaan, antara lain di India dan Cina, yang telah mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusasteraan Dharmasastra dan Arthasastrayang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara filsuf Cina yang terkenal ialah Confucius atau K’ung Fu Tzu kira-kira 500 SM.
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan vane membahas masalah sejarah dan kenegaraan. Seperti misalnya Negara Kertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 M, dan Babad Tanah Jawi. Sayangnya bahwa di Negara-negara Asia tersebut kesusasteraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialisme.
H. ILmu Politik Sebagai Ilmu Pengetahuan
Adakalanya dipersoalkan apakah ilmu politik merupakan suatu ilmu pengetahuan atau tidak, dan disangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan. Soal ini menimbulkan pertanyaan: apakah yang dinamakan ilmu pengetahuan itu? Umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman) Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah.
Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu. Hal ini disebabkan karena yang diteliti adalah manusia, dan manusia adalah makhluk yang kreatif, yang selalu menemukan akal baru yang belum penah diramalkan dan malahan tidal dapat diramalkan. Lagipula tingkahlaku manusia itu tidak selalu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan logis, sehingga mempersukar usaha untuk mengadakan perhitungan serta proyeksi untuk masa depan.
Para sarjana ilmu social pada mulanya cenderung untuk menemukan definisi yang lebih umum sifatnya seperti yang terlihat pada pertemuan-pertemuan sarjana-sarjana ilmu politik yang diadakan di Paris pada tahun 1948. mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah “keseluruhan dari pengetahuan yang tcrkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu” (the sum of coordinated knowledge relative to a determined subject). Definisi yang serupa pernah dikemukakan oleh seorang ahli Belanda yang mengatakan "llmu adalah pengetahuan yang tersusun, sedangkan pengetahuan adalah pengamatan yang disusun secara sistematis" (wetenschap is geordende kennis; kennis is gesystematiseerde observatie). Apabila perumusan-perumusan ini dipakai sebagai
patokan, maka jelaslah bahwa ilmu politik boleh dinamakan suatu ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, tenyata bahwa banyak sarjana ilmu politik tidak puas dengan perumusan yang luas ini, oleh karena ia tidak mendorong para ahli untuk memperkembangkan rnetode ilmiah. Disesalkan kurangnya usaha untuk mengidentifisir pola-pola ulangan dalam proses politik untuk dijadikan dasar bagi penyusunan generalisasi. Diharaptan oleh mereka agar ilmu politik menggunakan cara-cara baru untuk meneliti gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa politik secara lebih sistematis, berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris dan dengan menggunakan kerangka teoritis yang terperinci dan ketat. Pendekatan baru ini terkenal dengan nama "pendekatan tingkah laku" (behavioral approach).
Pendekatan tingkah laku ini timbal dalam masa sesudah Perang Dania ll, terutama dalam decade lima puluhan, sebagai gerakan pembaharuan yang ingin meningkatkan mutu ilmu politik. Gerakan ini terpengaruh oleh karya-karya sarjana sosiologi MaxWeber dan Talcott Parsons, disamping penemuan-penemuan baru di bidang psikologi. Sarjana-sarjana ilmu politik yang terkenal karena pendekatan tingkah-laku politik ini ialah Gabriel A. Almond (Structural-functional analysis), David Easton (General system analysis), Karl W. Deutsch (Communications theory), David Truman, Robert Dahl dan sebagainya.
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor "pendekatan tingkah-laku" adalah bahwa tingkah laku politik lebih menjadi focus, dari pada lcmbaga-lembaga politik atau kekuasaan atau keyakinan politik. Akan tetapi yang lebih menonjol lagi ialah penampilan suatu orientasi tertentu yang mencakup beberapa konsep pokok. Konsep-konsep pokok dari kaum behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tingkah laku politik memperlihatkan keteraturan yang dapat dirumuskan dalam generalisasi-generelisasi.
Generalisasi-generalisasi ini pada asasnya harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah laku yang relevan.
Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data diperlukan teknik-teknik penelitian yang cermat.
Untuk mencapai kecerniatan dalam penelitian diperlukan pengukuran dan kuantifikasi.
Dalam membuat analisa politik nilai-nilai pribadi si peneliti sedapat mungkin tidak main peranarl.
6 Penelitian politik menipunyal sikap terbuka terhadap konsep-konsep teori-teori dan
ilmu sosial lainnya
Dalam proses interaksi dengan ilmu-ilmu social lainnya misalnya dimasukkan istilah baru seperti system politik, fungsi, peranan, struktur, buciaya politik dan sosialisasi politik disamping istilah lama seperti Negara kekuasaan, jabatan, institute, pendapat umum dan pendidikan kewarganegaraan.
Dalam rangka timbulnya pendekatan tingkah-laku, pada dewasa ini telah berkernbang beberapa macam analisa yang mengajukan rumusan-rumusan baru tentang ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan, kedudukan nilai-nilai (volue) dalam penelitian politik serta satuan-satuan social yang hendak diamati.
1. Hubungan Itmu Politik dengan Filsafat
Ilmu politik erat kaitannya dengan filsafat. Filsafat ialah usaha untuk secara rasional dan sistmatis mencari pemecahan atau jawaban atas persoalan-persoalan yang menyangkut universe (alam semesta) dan kehidupan manusia. Filsafat menjawab pertanyaan seperti : Apakah asas-asas yang mendasari fakta? Apakah yang dapat says ketahui? Apakah asas-asas dari kehidupan? Filsafat sering merupakan pedoman bagi manusia dalam menetapkan sikap hidup dan tingkah-lakunya.
Ilmu politik terutama sekali erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu bagian dari filsafat yang menyangkut kehidupan politik terutama mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai (volue) dari Negara. Negara dan manusia di dalamnya dianggap sebagai sebagian dari alam semesta.Dalam pandangan filsuf Yunani kuno,Filsafat politik juga mencakup dan erat hubungannya dengan moral philosophy atau etika (ethics). Etika membahas persoalan-persoalan yang menyangkut norma-norma baik/buruk seperti misalnya tindakan apakah yang boleh dinamakan baik/buruk oleh manusia. Apakah yang dinamakan adil/tidak adil. penelitian semacam ini, kalau dterapkan pada politik menimbulkan pertanyaan sebagai berikut : apakah seharusnya tujuan dari negara: bagaimana seharusnya system pemerintahan yang terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebu : bagaimana seorang pemimpin hurus bertindak untuk keselamatan negara dan warganya. Dengan demikian kita sarripai kepada bidang filsafat politik, yang membahas persoalan-persoalan politik dengan berpedoman pada suatu system nilai (volue system) dan norma-norma tertentu. Contoh dari pandangan bahwa ada hubungan erar antara politik dengan etika adalah karangan filsuf Yunani plato.politeia.
J. Tcori Politik
Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari penomena yang bersifat politik. dengan perkatan lain teori politik adalah bahasan dan renungan atas:
Tujuan dari kegiatan politik
Cara-cara mencapai tujuan itu
Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu
Kewajiban-kuwajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu
Konsep-konsep yang dibahas dala teori politik. mencakup antara lain; masyarakat, kelas social, Negara, kekuasaan , kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan sosial, pembangunan politik (political development), modernisasi dan sebagainya.
Menurut Thomas P.Jenkin dalam The Study of Political Theory dibedakan dua macam teori politik, sekalipun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak.
1. Teorl-teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma-norma politik (norms for political behavior). Karena adanya unsur norma-norma dan nilai. Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, idiologi dan sebagainya.
2. Teori-teori yang menggambarkan dan membahas penomena dan fakta-fakta politik dengan tidak rnernpersoalkan norma-norma atau nilai.
Teori-teori ini dapat dinamakan nonvaluational. la biasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (menibandingkan). la berusaha untuk Membahas fakta-fakta kehidupan politik sedemikian rupa sehingga dapat disestimatisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi.
K. Pembagian Kekuasaan Menurut Fungsi
Doktrin trias politica pertama kali dikemukakan oleh john Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absulut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.Menurut Locke didalamnya termasuk kekuasaan mengadili, dan kckuwaCfecderOil 's ialah kekuasaann yang meliputi segala tinlakan untuk menjaga keamanan Negara dalam hubungan dengan Negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Pada tahun 1748, filsuf Perand Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L'Espri des Lois. Karena melihat sifat despo~,s dari raja-raja Bourbon, dig ingin menyusun suatu system pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih tedamin hakny.. Dalam uraiannya is membagi kekiiasan pemerintahan dalam tiga cabang aitu :
Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang
Kekuasaan eksekutif atau Kekuasaan melaksanakan undang-undang
Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment