Landasan Ontologi
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya pada daerah – daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra – pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas – batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan azas epistomologi keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi keilmuan adalah penafsiran tentang hakekat realitas dari obyek ontologis keilmuan sebagaimana disebut di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik obyek ontologis sebagaimana adanya (das Sein) dengan deduksi – deduksi yang dapat diverivikasi secara fisik. Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai – nilai yang bersifat dogmatik.
Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan – meramalkan – mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai – nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen, dari bagan terlampir dapat dilihat bahwa dari 18 azas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan maka 17 diantaranya bersifat das Sollen.
Dari 17 azas moral tersebut maka terdapat 3 azas yang terkait dengan aspek pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan demikian maka ilmu menentang percobaan mengenai genetica (genetic engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk mengontrol kelakuan manusia, percobaan untuk mengontrol kelakuan manusia (behavioural/social engineering) sebab merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk species baru sebab mencampuri masalah kehidupan.
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya pada daerah – daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra – pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas – batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan azas epistomologi keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi keilmuan adalah penafsiran tentang hakekat realitas dari obyek ontologis keilmuan sebagaimana disebut di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik obyek ontologis sebagaimana adanya (das Sein) dengan deduksi – deduksi yang dapat diverivikasi secara fisik. Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai – nilai yang bersifat dogmatik.
Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan – meramalkan – mengontrol gejala alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai – nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen, dari bagan terlampir dapat dilihat bahwa dari 18 azas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan maka 17 diantaranya bersifat das Sollen.
Dari 17 azas moral tersebut maka terdapat 3 azas yang terkait dengan aspek pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan demikian maka ilmu menentang percobaan mengenai genetica (genetic engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk mengontrol kelakuan manusia, percobaan untuk mengontrol kelakuan manusia (behavioural/social engineering) sebab merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk species baru sebab mencampuri masalah kehidupan.
0 comments:
Post a Comment