Sunday, November 17, 2013

Pendekatan Non-Direktif

Pendekatan Non-Direktif
        Pola ini berangkat dari premis bahwa belajar pada dasarnya adalah pengalaman pribadi, sehingga pada akhirnya individu harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah ini tidak lain dari pada upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas. Peranan supervisor disini adalah mendegarkan, tidak memberikan pertimbangan, membagkitkan kesadaran sendiri, dan mengklasifikasi pengalaman-pengalaman yang dimiliki guru (Glickman, 1981, 1986; Glickman & Tamashiro, 1980; Glickman & Pajak 1986).
         Dalam penelitian, Blumberg (1967) menemukan bukti yang menunjukkan bahwa para guru lebih suka, jika Supervisi menggunakan pendekatan non-direktif dalam wawancara supervisi. Para guru merasa bahwa bentuk pertemuan semacam itu lebih efktif. Ditemukan juga supervisor yang menggunakan pendekatan non-direktif. Dalam pendekatan direktif, guru merasa kurang bebas unutuk memulai diskusi dengan supervisornya, jika dibandingkan dengan diskusi yang dilakukan oleh supervisor non-direktif. Disimpulkan juga, bahwa supervisor dan guru memerlukan kepekaan untuk berkomonikasi dengan baik. Karena itu, supervisor seharusnya menggunakan pendekatan non-direktif dalam wawancara Supervisi untuk menghasilkan komonikasi yang lebih efektif.
           Melalui penelitian yang dikerjakan pada tahun 1968, Blumberg menemukan bukti yang lebih mendukung keafektifan pendekatan Supervisi non direktif Ia menyimpulkan bahwa jika supervisor menekankan refleksi, atau bertanya untuk memperoleh informasi guna membuka komunikasi wawancara mereka, para guru menilainya sebagai pertemuan Supervisi yang positif. Bila para supervisor lebih banyak bicara dalam pertemuan itu, para guru menilai interelasi pertemuan itu kurang posistif atau bahkan negative.
       Dalam hubungannya dangan  hal berbicara dalam wawancara Supervisi, Krajewski (dalam Mantja, 1998:185) salah seorang pakar Supervisi Klinis, melalui penelitiannya menemukan, bahwa supervisor yang sedikit berbicara atau memberikan gagasan-gagasan guru, lebih berhasil diri pada supervisor yang tidak terlatih menggunakan pendekatan Supervisi yang non-direktif.
        Agak menarik juga,temuan penelitian yang dilaporkan oleh Blumberg bersama Weber (dalam Mantja, 1998:185). Mereka menyimpulkan bahwa moral para guru berkorelai dengan perilaku Supervisi. Jika perilaku Supervisi direktif dari supervisor rendah dan perilaku Supervisi non direktif tinggi, maka moral guru tinggi. Sebaliknya jika para supervisor berprilaku Supervisi direktif tinggi dan perilaku Supervisi non direktifnya rendah, maka moral guru menjadi rendah.
        Dalam mengkaji pendekatan Supervisi yang lebih disenangi guru, Ginkel (1983) dan Rossiance (1985) menemukan bahwa pendekatan non direktif menempati peringkat kedua diantara du pendekatan Supervisi lainny, yaitu direktif dan kolaboratif. Temuan itu berbeda dengan hasil penelitian Blumberg dan Amidon (dalam Mantja, 1998 : 186) yang melaporkan bahwa sebagain besar guru lebih menyukai pendekatan non-direktif.
      Karena dengan pendektan itu mereka merasa memperoleh pemahaman diri baik sebagai kelompok mauoun sebagai inidividu. Hasil penelitian itu lebih mempertegas temuan Blumberg dan Weber (dalam Mantja, 1998:186), yang menyimpulkan “Experienced teacher did not View directive behaviors as positive”. Berarti bahwa para guru yang telah berpengalaman mengajar, lebih menyukai disupervisi dengan pendekatan non direktif. Kesimpulan tersebut di atas di dukung juga oleh penelitian Ngugi (dalam Glickman, 1986).

0 comments:

Post a Comment